Skip to content
“Benar”, satu kata yang dapat
memberi seulas senyuman bagi seseorang. Berbeda jika ia mendapat kata “salah”,
akan terbesit suatu hal negatif menyelimuti. Sebal, kecewa, itulah yang dirasa
oleh setiap orang.
Benar dan
salah selalu dijadikan setiap orang dalam mengkategorikan suatu keberhasilan
dan kegagalan. Benar dan salah pula selalu dijadikan tolok ukur dalam
pendidikan bangsa. Namun benar dan salah sebenarnya bukan dari metode
pendidikan, seperti yang kita sangka sebelumnya. Pendidikan yang kita terapkan
di sekolah tidak luput dari perwujudan pendidikan yang kita dapatkan dari rumah
atau keluarga.
Pendidikan
merupakan suatu proses pembelajaran pengetahuan, ketrampilan, dan kebiasaan
sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan berawal saat seorang
bayi dilahirkan dan akan berlangsung hingga seumur hidup. Selama proses
pendidikan itu berlangsung ,tanpa disadari keluaga memiliki peran pengajaran
yang amat berpengaruh dalam proses pembentukan karakter dan pola pikir anak.
Keterlibatan
keluarga, khususnya orangtua adalah kuci sukses dalam keberhasilan seseorang. Anak
kecil akan selalu meniru segala perilaku yang ia lihat pertama kali, entah itu
perilaku salah maupun benar, apalagi jika itu dalam segi pola pikir. Dan disinilah
akan menjadi fatal, jika terus diturunkan ke generasi selanjutnya. Setiap orang
pasti berpikir bahwa yang dimaksud pendidikan keluarga adalah di mana orangtua
sangat menyayangi dan memperhatikan seorang anak, namun pendidikan keluarga
yang sebenarnya adalah pola pikir yang diturunkan orangtua kepada anak.
Sebagai contoh, jika seorang anak
kecil sedang belajar berjalan, dan di tengah perjalanan ia terjatuh kemudian
menangis. Orangtua dengan sigap akan membantunya berdiri, menenangkan sang
anak, dan berkata bahwa karena batu maka sang anak terjatuh. Di sinilah
terbentuk kesalahan, bukan salah batu jika sang anak terjatuh, tapi salah anak
jika ia terjatuh. Karena sejak awal ia sudah dibiasakan bahwa segala hal bukan
atas kesalahannya, dan hingga kelak dewasa nanti sang anak akan merasa tertekan
jika ia melakukan suatu kesalahan. Ia selamanya akan sulit menerima adanya
kenyataan.
Dan inilah yang tengah saya
rasakan, sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa “ini kesalahan saya”. Saya rasa
segala hal yang saya lakukan sama dengan yang orang-orang lakukan pada umumnya.
Namun kembali pada awal, kami semua
dewasa karena pengaruh pola pikir orangtua yang salah.
Mak jleb............... Mantab
BalasHapusSolusinya sam??
BalasHapus